Hari in banyak teman-teman saya di facebook yang mengundang untuk
mengikuti Cause yang memberikan dukungan kepada Ibu Prita, salah seorang
pasien dari RS Omni yang katanya kena malpraktek tapi PN Tangerang
malah membuat dirinya masuk penjara hanya gara-gara tulisan di blognya.
Koq bisa?
Teman-teman blogger mengatakan bahwa hal ini karena UU ITE. Saya
sebenarnya tidak tahu UU ITE bagian mana yang mengakibatkan orang yang
sudah jadi korban koq bisa dituntut hukuman penjara. Membajak? Tidak.
Merendahkan martabat orang lain? Kurasa juga tidak. Di blognya Bu Prita
hanya mengeluh. Berikut saya kasih copy paste dari blognya.
RS Omni Dapatkan Pasien dari Hasil Lab Fiktif
Jakarta -
Jangan sampai kejadian saya ini akan menimpa ke nyawa manusia lainnya.
Terutama anak-anak, lansia, dan bayi. Bila anda berobat berhati-hatilah
dengan kemewahan rumah sakit (RS) dan title international karena semakin
mewah RS dan semakin pintar dokter maka semakin sering uji coba pasien,
penjualan obat, dan suntikan.
Saya
tidak mengatakan semua RS international seperti ini tapi saya mengalami
kejadian ini di RS Omni International. Tepatnya tanggal 7 Agustus 2008
jam 20.30 WIB. Saya dengan kondisi panas tinggi dan pusing kepala datang
ke RS OMNI Internasional dengan percaya bahwa RS tersebut berstandard
International, yang tentunya pasti mempunyai ahli kedokteran dan
manajemen yang bagus.
Saya
diminta ke UGD dan mulai diperiksa suhu badan saya dan hasilnya 39
derajat. Setelah itu dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya adalah
thrombosit saya 27.000 dengan kondisi normalnya adalah 200.000. Saya
diinformasikan dan ditangani oleh dr Indah (umum) dan dinyatakan saya
wajib rawat inap. dr I melakukan pemeriksaan lab ulang dengan sample
darah saya yang sama dan hasilnya dinyatakan masih sama yaitu thrombosit
27.000.
dr I
menanyakan dokter specialist mana yang akan saya gunakan. Tapi, saya
meminta referensi darinya karena saya sama sekali buta dengan RS ini.
Lalu referensi dr I adalah dr H. dr H memeriksa kondisi saya dan saya
menanyakan saya sakit apa dan dijelaskan bahwa ini sudah positif demam
berdarah.
Mulai
malam itu saya diinfus dan diberi suntikan tanpa penjelasan atau izin
pasien atau keluarga pasien suntikan tersebut untuk apa. Keesokan pagi,
dr H visit saya dan menginformasikan bahwa ada revisi hasil lab semalam.
Bukan 27.000 tapi 181.000 (hasil lab bisa dilakukan revisi?). Saya
kaget tapi dr H terus memberikan instruksi ke suster perawat supaya
diberikan berbagai macam suntikan yang saya tidak tahu dan tanpa izin
pasien atau keluarga pasien.
Saya
tanya kembali jadi saya sakit apa sebenarnya dan tetap masih sama
dengan jawaban semalam bahwa saya kena demam berdarah. Saya sangat
khawatir karena di rumah saya memiliki 2 anak yang masih batita. Jadi
saya lebih memilih berpikir positif tentang RS dan dokter ini supaya
saya cepat sembuh dan saya percaya saya ditangani oleh dokter
profesional standard Internatonal.
Mulai
Jumat terebut saya diberikan berbagai macam suntikan yang setiap suntik
tidak ada keterangan apa pun dari suster perawat, dan setiap saya
meminta keterangan tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Lebih
terkesan suster hanya menjalankan perintah dokter dan pasien harus
menerimanya. Satu boks lemari pasien penuh dengan infus dan suntikan
disertai banyak ampul.
Tangan
kiri saya mulai membengkak. Saya minta dihentikan infus dan suntikan
dan minta ketemu dengan dr H. Namun, dokter tidak datang sampai saya
dipindahkan ke ruangan. Lama kelamaan suhu badan saya makin naik kembali
ke 39 derajat dan datang dokter pengganti yang saya juga tidak tahu
dokter apa. Setelah dicek dokter tersebut hanya mengatakan akan menunggu
dr H saja.
Esoknya
dr H datang sore hari dengan hanya menjelaskan ke suster untuk
memberikan obat berupa suntikan lagi. Saya tanyakan ke dokter tersebut
saya sakit apa sebenarnya dan dijelaskan saya kena virus udara. Saya
tanyakan berarti bukan kena demam berdarah. Tapi, dr H tetap menjelaskan
bahwa demam berdarah tetap virus udara. Saya dipasangkan kembali infus
sebelah kanan dan kembali diberikan suntikan yang sakit sekali.
Malamnya
saya diberikan suntikan 2 ampul sekaligus dan saya terserang sesak
napas selama 15 menit dan diberikan oxygen. Dokter jaga datang namun
hanya berkata menunggu dr H saja.
Jadi
malam itu saya masih dalam kondisi infus. Padahal tangan kanan saya pun
mengalami pembengkakan seperti tangan kiri saya. Saya minta dengan
paksa untuk diberhentikan infusnya dan menolak dilakukan suntikan dan
obat-obatan.
Esoknya
saya dan keluarga menuntut dr H untuk ketemu dengan kami. Namun, janji
selalu diulur-ulur dan baru datang malam hari. Suami dan kakak-kakak
saya menuntut penjelasan dr H mengenai sakit saya, suntikan, hasil lab
awal yang 27.000 menjadi revisi 181.000 dan serangan sesak napas yang
dalam riwayat hidup saya belum pernah terjadi. Kondisi saya makin parah
dengan membengkaknya leher kiri dan mata kiri.
dr H
tidak memberikan penjelasan dengan memuaskan. Dokter tersebut malah
mulai memberikan instruksi ke suster untuk diberikan obat-obatan kembali
dan menyuruh tidak digunakan infus kembali. Kami berdebat mengenai
kondisi saya dan meminta dr H bertanggung jawab mengenai ini dari hasil
lab yang pertama yang seharusnya saya bisa rawat jalan saja. dr H
menyalahkan bagian lab dan tidak bisa memberikan keterangan yang
memuaskan.
Keesokannya
kondisi saya makin parah dengan leher kanan saya juga mulai membengkak
dan panas kembali menjadi 39 derajat. Namun, saya tetap tidak mau
dirawat di RS ini lagi dan mau pindah ke RS lain. Tapi, saya membutuhkan
data medis yang lengkap dan lagi-lagi saya dipermainkan dengan
diberikan data medis yang fiktif.
Dalam
catatan medis diberikan keterangan bahwa bab (buang air besar) saya
lancar padahal itu kesulitan saya semenjak dirawat di RS ini tapi tidak
ada follow up-nya sama sekali. Lalu hasil lab yang diberikan adalah
hasil thrombosit saya yang 181.000 bukan 27.000.
Saya
ngotot untuk diberikan data medis hasil lab 27.000 namun sangat
dikagetkan bahwa hasil lab 27.000 tersebut tidak dicetak dan yang
tercetak adalah 181.000. Kepala lab saat itu adalah dr M dan setelah
saya komplain dan marah-marah dokter tersebut mengatakan bahwa catatan
hasil lab 27.000 tersebut ada di Manajemen Omni. Maka saya desak untuk
bertemu langsung dengan Manajemen yang memegang hasil lab tersebut.
Saya
mengajukan komplain tertulis ke Manajemen Omni dan diterima oleh
Og(Customer Service Coordinator) dan saya minta tanda terima. Dalam
tanda terima tersebut hanya ditulis saran bukan komplain. Saya
benar-benar dipermainkan oleh Manajemen Omni dengan staff Og yang tidak
ada service-nya sama sekali ke customer melainkan seperti mencemooh
tindakan saya meminta tanda terima pengajuan komplain tertulis.
Dalam
kondisi sakit saya dan suami saya ketemu dengan Manajemen. Atas nama Og
(Customer Service Coordinator) dan dr G (Customer Service Manager) dan
diminta memberikan keterangan kembali mengenai kejadian yang terjadi
dengan saya.
Saya
benar-benar habis kesabaran dan saya hanya meminta surat pernyataan
dari lab RS ini mengenai hasil lab awal saya adalah 27.000 bukan
181.000. Makanya saya diwajibkan masuk ke RS ini padahal dengan kondisi
thrombosit 181.000 saya masih bisa rawat jalan.
Tanggapan
dr G yang katanya adalah penanggung jawab masalah komplain saya ini
tidak profesional sama sekali. Tidak menanggapi komplain dengan baik.
Dia mengelak bahwa lab telah memberikan hasil lab 27.000 sesuai dr M
informasikan ke saya. Saya minta duduk bareng antara lab, Manajemen, dan
dr H. Namun, tidak bisa dilakukan dengan alasan akan dirundingkan ke
atas (Manajemen) dan berjanji akan memberikan surat tersebut jam 4 sore.
Setelah
itu saya ke RS lain dan masuk ke perawatan dalam kondisi saya
dimasukkan dalam ruangan isolasi karena virus saya ini menular. Menurut
analisa ini adalah sakitnya anak-anak yaitu sakit gondongan namun sudah
parah karena sudah membengkak. Kalau kena orang dewasa laki-laki bisa
terjadi impoten dan perempuan ke pankreas dan kista.
Saya
lemas mendengarnya dan benar-benar marah dengan RS Omni yang telah
membohongi saya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah diberikan
suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga mengalami sesak napas.
Saya tanyakan mengenai suntikan tersebut ke RS yang baru ini dan
memang saya tidak kuat dengan suntikan dosis tinggi sehingga terjadi
sesak napas.
Suami
saya datang kembali ke RS Omni menagih surat hasil lab 27.000 tersebut
namun malah dihadapkan ke perundingan yang tidak jelas dan meminta
diberikan waktu besok pagi datang langsung ke rumah saya. Keesokan
paginya saya tunggu kabar orang rumah sampai jam 12 siang belum ada
orang yang datang dari Omni memberikan surat tersebut.
Saya
telepon dr G sebagai penanggung jawab kompain dan diberikan keterangan
bahwa kurirnya baru mau jalan ke rumah saya. Namun, sampai jam 4 sore
saya tunggu dan ternyata belum ada juga yang datang ke rumah saya.
Kembali saya telepon dr G dan dia mengatakan bahwa sudah dikirim dan ada
tanda terima atas nama Rukiah.
Ini
benar-benar kebohongan RS yang keterlaluan sekali. Di rumah saya tidak
ada nama Rukiah. Saya minta disebutkan alamat jelas saya dan mencari
datanya sulit sekali dan membutuhkan waktu yang lama. LOgkanya dalam
tanda terima tentunya ada alamat jelas surat tertujunya ke mana kan?
Makanya saya sebut Manajemen Omni pembohon besar semua. Hati-hati dengan
permainan mereka yang mempermainkan nyawa orang.
Terutama
dr G dan Og, tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan
customer, tidak sesuai dengan standard international yang RS ini cantum.
Saya
bilang ke dr G, akan datang ke Omni untuk mengambil surat tersebut dan
ketika suami saya datang ke Omni hanya dititipkan ke resepsionis saja
dan pas dibaca isi suratnya sungguh membuat sakit hati kami.
Pihak
manajemen hanya menyebutkan mohon maaf atas ketidaknyamanan kami dan
tidak disebutkan mengenai kesalahan lab awal yang menyebutkan 27.000 dan
dilakukan revisi 181.000 dan diberikan suntikan yang mengakibatkan
kondisi kesehatan makin memburuk dari sebelum masuk ke RS Omni.
Kenapa
saya dan suami saya ngotot dengan surat tersebut? Karena saya ingin
tahu bahwa sebenarnya hasil lab 27.000 itu benar ada atau fiktif saja
supaya RS Omni mendapatkan pasien rawat inap.
Dan
setelah beberapa kali kami ditipu dengan janji maka sebenarnya adalah
hasil lab saya 27.000 adalah fiktif dan yang sebenarnya saya tidak perlu
rawat inap dan tidak perlu ada suntikan dan sesak napas dan kesehatan
saya tidak makin parah karena bisa langsung tertangani dengan baik.
Saya
dirugikan secara kesehatan. Mungkin dikarenakan biaya RS ini dengan
asuransi makanya RS ini seenaknya mengambil limit asuransi saya
semaksimal mungkin. Tapi, RS ini tidak memperdulikan efek dari
keserakahan ini.
Sdr
Og menyarankan saya bertemu dengan direktur operasional RS Omni (dr B).
Namun, saya dan suami saya sudah terlalu lelah mengikuti permainan
kebohongan mereka dengan kondisi saya masih sakit dan dirawat di RS
lain.
Syukur
Alhamdulilah saya mulai membaik namun ada kondisi mata saya yang
selaput atasnya robek dan terkena virus sehingga penglihatan saya tidak
jelas dan apabila terkena sinar saya tidak tahan dan ini membutuhkan
waktu yang cukup untuk menyembuhkan.
Setiap
kehidupan manusia pasti ada jalan hidup dan nasibnya masing-masing.
Benar. Tapi, apabila nyawa manusia dipermainkan oleh sebuah RS yang
dipercaya untuk menyembuhkan malah mempermainkan sungguh mengecewakan.
Semoga
Allah memberikan hati nurani ke Manajemen dan dokter RS Omni supaya
diingatkan kembali bahwa mereka juga punya keluarga, anak, orang tua
yang tentunya suatu saat juga sakit dan membutuhkan medis. Mudah-mudahan
tidak terjadi seperti yang saya alami di RS Omni ini.
Saya
sangat mengharapkan mudah-mudahan salah satu pembaca adalah karyawan
atau dokter atau Manajemen RS Omni. Tolong sampaikan ke dr G, dr H, dr
M, dan Og bahwa jangan sampai pekerjaan mulia kalian sia-sia hanya demi
perusahaan Anda. Saya informasikan juga dr H praktek di RSCM juga. Saya
tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis
dari dokter ini.
Hanya segitu saja koq bisa dipenjara. Bebas dong, orang mau
berekspresi di blog mereka sendiri. Ternyata dengan adanya tulisan itu
seseorang akan bisa dipenjara. Dia padahal cuman curhat saja di blognya.
Dan memberikan informasi mengenai dirinya. Lha kalau itu adlaah fakta,
lantas kenapa juga majelis hakim koq berbuat tidak adil? Disogok? KPK
harus turun tangan nih!!
Salah satu teman saya yang bernama
Fahmi juga pernah mengeluh di blognya. Dan hasilnya,
keluhannya dibaca oleh petugas toko sepatu dan hasilnya,
dia mendapat ganti rugi.
Ini baru bagus. Rumah sakit yang sepertinya tidak mau kehilangan
citranya. Tapi apa gunanya kalau mengorbankan pasien? Dokternya saya
yakin dokternya lulus dengan sogokan. Mendiagnosa penyakit saja bisa
salah besar seperti itu. Sampai terjadi malpraktek. Saya memang tidak
tahu tentang hal medis, tapi melihat tulisan yang diutarakan Sdr. Prita
di blognya, dan juga kondisinya yang tidak baik setelah menjalani
perawatan. Maka saya sudah yakin 100% dokter yang menanganinya adalah
dokter gadungan. Sebenarnya banyak juga sih RS yang seperti ini, tidak
mau citra yang dibawanya rusak. Tapi kalau mengorbankan nyawa orang maka
dokter-dokter seperti itu harus ditindak.
Di beberapa tahun lalu sebelum saya pakai blog ini juga saya pernah
menulis RS yang lebih memilih orang kaya untuk ditangani daripada
memilih orang miskin. Dan itu sebenarnya juga terjadi pada saya. Dokter
lebih sigap menangani kamar VIP daripada menangani orang yang berada di
kamar kelas 3. Dan di beberapa kasus tertentu, ketika ada pasien di
kelas 3 membutuhkan donor darah, maka ia akan harus menunggu sampai
pasien yang berada di kamar VIP mendapatkan darah baru sisanya diberikan
ke pasien kelas 3.
Buka mata, ini nyata hanya di Indonesia.