Cari Blog Ini

Kamis, 28 Februari 2013

DIA GIE...LELAKI AKTIVIS YANG ROMANTIS


Gie....aku mengenalnya sejak awal duduk di bangku kuliah. Banyak persamaan antara aku dan dia. Kami sama-sama kuliah di Fakultas Sastra hanya beda jurusan. Di Sejarah, sedang aku Sastra Indonesia. Kami berdua juga mempunyai pikiran yang sama, yaitu selalu mempertanyakan kenapa harus ada dunia "politik" di dalam dunia kampus. Mengapa kegiatan Intra kampus harus ada penguasaan dari bendera-bendera yang berbeda?. Dan aku satu-satunya -ku kira- adalah pengurus BEM Sastra yang tidak menjadi wakil dari sebuah bendera. Jika Gie hanya diam saat ditanya dia adalah golongan kiri atau kanan, maka aku akan menjawab. "Aku tidak dimana-mana, tapi aku ada dimana-mana", jika beberapa aktivis baru bertanya aku ber"bendera" apa.
Gie dan aku sama-sama berpikir jika seharusnya kegiatan Intra Mahasiswa tidak seharusnya dimasuki pikiran politik. Mahasiswa harus bersatu dengan atas nama perubahan, walaupun sesekali harus "menyentil" pemerintahan. Tidak harus berteriak-teriak mencari perbedaan pandangan politik dari kumpulan bendera hijau, merah, biru, hitam atau bahkan putih sekalian. Bukankah Mahasiswa adalah ujung tombak perubahan. Nah...bagaimana perubahan itu akan muncul jika banyak ujung tombak tapi tak ada tenaga untuk mendorong ujung tombak itu. Bukankah lebih baik satu tombak dengan tenaga ribuan dari mahasiswa? Gie dan aku percaya jika perubahan itu akan segera terjadi.

Gie dan aku sama-sama mencintai alam, termasuk laut dan Gunung. Hei....ternyata kita berdua juga sama-sama menjadi anggota pecinta alam. Sering naik gunung jika pikiran lagi sumpek. Mencintai bunga keabadian Edelwis, namun hanya menikmatinya saat tumbuh di atas gunung dan selalu tidak tega memetiknya untuk di bawah turun. Bahkan Gie dan aku, juga kuat duduk berjam-jam saat malam hari di atas gunung. Hanya saja aku harus dekat dengan pendiangan karena menurutku suara kayu bakar yang termakan api sangat indah. Apalagi jika ditimpali dengan suara daun ilalang yang bersentuhan dan suara binatang malam. Wow.....sperti mendengarkan musik orkestra malam. Tapi aku tak tau apakah Gie juga menikmati malam di atas gunung dengan duduk di dekat pendiangan atau lebih memilih duduk menyendiri di tengah kegelapan? ah entahlah....namun yang terpenting Gie dan aku sama-sama pernah menginjak gunung tempat para dewa bersemayang, Puncak Mahameru Semeru. Walaupun dengan ending yang berbeda. Fuich....!

Gie adalah pendiri Mahasiswa Pecinta Alam. Dan saat di memimpin pendakian Gunung Slamet, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya,

Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Gie dan aku sama-sama berpikir jika Chairul Anwar, walaupun dia dikenal sebagai pengarang, sebenarnya dia adalah penterjemah. Beberapa puisi yang terkenal adalah gubahan dari beberapa puisi ber-bahasa Belanda. Tapi tetap percaya jika Chairul Anwar adalah seorang seniman romantis. Jika Gie kuat berjam-jam duduk di depan mesin ketik milik Ayahnya, aku juga suka berkutat bersama laptopku menulis semuanya, tentang perubahan, tentang masa depan, bahkan tentang cinta. Kami berdua juga sama-sama hobi membaca terutama buku-buku tentang sejarah, biografi, sastra dan filsafat, atau sesekali buku tentang politik. Dan yang paling penting adalah kami sama-sama suka menulis puisi. Dan aku masih menyimpan puisi yang ditulis Gie saat itu.

Sebuah Tanya

“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”


(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)


“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”


(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)

“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”


(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)

“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”




Bukankah Gie mahasiswa yang romantis. Banyak mahasiswa perempuan yang jauh cinta padanya, namun aku tak pernah tahu siapa kekasihnya. Hanya saja aku tahu dia mempunyai sahabat -yang aku kira Gie jatuh cinta pada sahabatnya, hanya saja dia tidak mau mengakuinya atas nama persahabatan-. Dan di luar dugaan, nama sahabat Gie adalah Ira. Nama yang sama denganku. Bahkan aku selalu mengkhayal, apakah aku adalah Ira sahabat dari seorang Gie? khayalan tingkat tinggi dari sebuah kekaguman yang sangat beralasan.

Gie dan aku mungkin banyak kesamaan. Tapi dia jauh lebih hebat dari semua mahasiswa yang aku kenal. Karena Gie....adalah Soe Hok Gie. Inspirasi dari semua mahasiswa yang mengagungkan kata perubahan!. Dii era demontrasi tahun 66, Gie sempat kecewa dengan sikap temen-temen seangkatannya yang menkritik dan mengutuk para pejabat pemerintah, kemudian selepas mereka lulus mereka berubah berpihak dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Soe Hok Gie!! adalah aktivis Indonesia kelahiran 17 Desember 1942. Dia adalah anak ke empat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan. Gie adalah adik dari Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Satya Wacana yang terkenal sangat vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam Bahasa Mandarin. Leluhur Soe Hok Gie sendiri berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.Tapi jika ada yang mengatakan Soe Hok Gie adalah Cina aku akan menentang secara keras. Gie bukan cina!!!! tapi Gie adalah orang Indonesia keturunan Tionghoa.

Gie tinggal di daerah Kebon Jeruk. Setelah menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius, dia melanjytkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (jika ada yang bertanya kenapa sejarah masuk dalam fakultas sastra, jawabanya adalah karena sastra dan sejarah adalah bagian dari Ilmu Humaniora). Gie adalah anak muda yang mempunyai pendirian teguh dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian, yang kelak kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983). Gie juga dikenal sebagai penulis produktif dibeberapa koran, antara lain Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahsiswa Indonesia. Gie juga sempat terdaftar sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama. 35 karya artikelnya selama rentang waktu 3 tahun Orde Baru sudah dibukukan dan diterbtkan dengan judul Zaman Peralihan (1995). Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang juga telah diterbitkan dengan judul Di Bawah Lentera Merah (1990). Sebelumnya, skripsi S1 nya tentang pemberontakan PKI di Madiun juga sidah di bukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997). Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya. Dan jika kau menyadarinya, buku-buku pemikiran yang ditulis Gie baru diterbitkan pada masa-masa peralihan antara Orde baru dan reformasi. Ah...entahlah apa mungkin ada yang merasa tidak nyaman dengan tulisan Gie? seperti dalam catatanya

Potonglah kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.

Gie.....akhirnya menjadi inspirasi bagi para sineas muda yang mengangkat kisahnya di layar putih. Mira Lesmana dan Riri Reza benar-benar membutuhkan waktu 3 tahun untuk mengaplikasikannya dalam bnetuk visual. Dan aku semakin jatuh cinta pada Gie!! bukan karena pemerannya Nicolas Saputra atau karena sahabat sekaligus kekasihnya bernama Ira sama dengan namaku. Tapi karena perjuanganya yang benar-benar tulus. Soe Hok Gie bertolak dari sesuatu yang sekuler sifatnya, menuju titik membangun masyarakat baru yang bermoral, terbuka dan manusiawi. Walaupun mungkin ada yang protes dan merasa terganggu dengan cara Gie berjalan dalam film , dan sempat mengatakan itu bukan cara jalan seorang pendaki gunung. Dan juga bukan gaya jalan Nicolas Saputra. Tapi itulah Gie. Menurut sahabat-sahabatnya, Gie memang mempunyai cara berrjalan yang unik dan berbeda!

Soe Hok Gie menyikapi cara menghadapi rezim yang berkuasa sangat tegas sesuai dengan perjalanan intelektualnya dan pengalaman pribadi dan politiknya, terbukti ketika untuk pertama kalinya dia bertemu langsung dengan Soekarno (inpersona), “kesanku hanya satu, aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin Negara karena dia begitu immoral”,. Dengan prinsif causa efficiens untuk meruntuhkan kekuasaan Gie tidak pernah ragu-ragu untuk mengambil jalur kekuasaan untuk mewujudkan keinginan anti kekuasan!. dia merumuskan untuk memecahkan dilemanya tentang kekuasaan itu dengan benar-benar melibatkan dirinya ke dalam suatu pergerakan bawah tanah yang sampai sekarang tidak banyak di ketahui orang. Namun di hati kecilnya, Gie adalah pengagum Sukarno sebagai seseorang yang membawa perubahan.

"Kita memang mempunyai ayah, tapi tidak selamnya ayah menentukan, memutuskan dan memaksakan jalan hidup dari anak-anaknya" kata Gie tentang Sukarno.

Sayangnya Gie tidak abadi. Dia meninggal dengan usia yang cukup muda. 27 tahun

Semeru 16 Desember 1969





Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember 1969 di Gunung Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah Jonggring Seloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan, mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.Dengan tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya Herman, Freddy, Gie, dan Idhan.
Hari makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!” katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal! Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa.Mereka jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru. Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir birunya. Mereka semua diam dan sedih. Gie....meningal dalam pelukan sahabatnya Herman Lantang.
Jenasah Gie kemudian di semayamkan di rumah Lurah sebuah desa di kaki Gunung Semeru. Menurut catatan adik Gie, Arif Budiman, Jenasah Gie dibungkus oleh plastik dan kedua ujungnya diikat tali digantungkan pada kayu yang panjang. Kulitnya kuning memucat dengan mata terpejam dan tampak tenang. Jenasahnya di mandikan di Rumah Sakit Malang. Semuanya merasa kehilangan, bahkan Sang Pembuat Peti Mati pun menangisi Gie yang hanya dikenalnya lewat tulisan.


Jenasah Gie di bawa ke Jakarta dengan pesawat Antonov milik AURI yang mendarat di Malang dan sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa. Dan pesawat itu diperintahkan langsung oleh Menteri Perhubungan yang saat itu di pimpin oleh Frans Seda. Bahkan saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie dari tulisannya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya” atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.


Jenasah Gie kemudian di makamkan di daerah Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, jenasahnya di pindahkan di Perkuburan Kober tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Namuan walaupun telah meinggal, Gie masih tetap berkorban. Tempat peristirahatannya harus di gusur karena proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan kawan-kawannya kemudian memutuskan menumuk sisa-sisa tulang belulang Gie dan serbuknya di tebar di antara bunga-bunga Edelwiss di lembah Mandalawangi Puncak Pangrango. Di tempat itu, Gie biasa merenung seperti patung.


Aku sengaja memaksakan diri untuk menulis catatan ini,saat masih belum bisa bersahabat dengan kesehatanku hanya karena kekagumanku pada Gie!!! Dan sejak aku mengenal Gie aku selalu membaptiskan diri bahwa Bulan Desember adalah bulan milik Gie!! dan aku kembali merefleksi diri. Mengulang kembali cerita tentang Gie yang sudah aku hapal di luar kepalaku. Dan di setiap bulan Desember aku merasa Gie merasa lahir kembali. Walaupun aku sekarang bukan lagi seorang aktivis yang berteraik-teriak menyauarakn keadilan menggunakan TOA di pinggirjalan atau berdiskusi berjam-jam hingga dini hari untuk mencari jalan keluar bagi negaraku yang ku rasa hampir hancur. Namun semangat Gie ini masih tetap ada. .....dan kelak Kisah Gie ini akan mejadi dongeng pengantar tidur bagi anak-anaku. Agar mereka dapat menghargai betapa sulitnya untuk menegakkan kata KEADILAN!!!!



 "orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur"


catatan ini aku persembahkan pada Gie dan Idhan Lubis serta bulan Desember yang penuh kisah
dan rekan-rekan aktivis yang pernah mengiringi langkahku untuk menyuarakan keadilan
Gie....kau tak pernah sendiri 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar