Gie....aku
mengenalnya sejak awal duduk di bangku kuliah. Banyak persamaan antara
aku dan dia. Kami sama-sama kuliah di Fakultas Sastra hanya beda
jurusan. Di Sejarah, sedang aku Sastra Indonesia. Kami berdua juga
mempunyai pikiran yang sama, yaitu selalu mempertanyakan kenapa harus
ada dunia "politik" di dalam dunia kampus. Mengapa kegiatan Intra kampus
harus ada penguasaan dari bendera-bendera yang berbeda?. Dan aku
satu-satunya -ku kira- adalah pengurus BEM Sastra yang tidak menjadi
wakil dari sebuah bendera. Jika Gie hanya diam saat ditanya dia adalah
golongan kiri atau kanan, maka aku akan menjawab. "Aku tidak
dimana-mana, tapi aku ada dimana-mana", jika beberapa aktivis baru
bertanya aku ber"bendera" apa.
Gie dan aku sama-sama berpikir jika seharusnya kegiatan Intra Mahasiswa tidak seharusnya dimasuki pikiran politik. Mahasiswa harus bersatu dengan atas nama perubahan, walaupun sesekali harus "menyentil" pemerintahan. Tidak harus berteriak-teriak mencari perbedaan pandangan politik dari kumpulan bendera hijau, merah, biru, hitam atau bahkan putih sekalian. Bukankah Mahasiswa adalah ujung tombak perubahan. Nah...bagaimana perubahan itu akan muncul jika banyak ujung tombak tapi tak ada tenaga untuk mendorong ujung tombak itu. Bukankah lebih baik satu tombak dengan tenaga ribuan dari mahasiswa? Gie dan aku percaya jika perubahan itu akan segera terjadi.
Gie dan aku sama-sama berpikir jika seharusnya kegiatan Intra Mahasiswa tidak seharusnya dimasuki pikiran politik. Mahasiswa harus bersatu dengan atas nama perubahan, walaupun sesekali harus "menyentil" pemerintahan. Tidak harus berteriak-teriak mencari perbedaan pandangan politik dari kumpulan bendera hijau, merah, biru, hitam atau bahkan putih sekalian. Bukankah Mahasiswa adalah ujung tombak perubahan. Nah...bagaimana perubahan itu akan muncul jika banyak ujung tombak tapi tak ada tenaga untuk mendorong ujung tombak itu. Bukankah lebih baik satu tombak dengan tenaga ribuan dari mahasiswa? Gie dan aku percaya jika perubahan itu akan segera terjadi.
Gie dan aku sama-sama mencintai alam, termasuk laut
dan Gunung. Hei....ternyata kita berdua juga sama-sama menjadi anggota
pecinta alam. Sering naik gunung jika pikiran lagi sumpek. Mencintai
bunga keabadian Edelwis, namun hanya menikmatinya saat tumbuh di atas
gunung dan selalu tidak tega memetiknya untuk di bawah turun. Bahkan Gie
dan aku, juga kuat duduk berjam-jam saat malam hari di atas gunung.
Hanya saja aku harus dekat dengan pendiangan karena menurutku suara kayu
bakar yang termakan api sangat indah. Apalagi jika ditimpali dengan
suara daun ilalang yang bersentuhan dan suara binatang malam.
Wow.....sperti mendengarkan musik orkestra malam. Tapi aku tak tau
apakah Gie juga menikmati malam di atas gunung dengan duduk di dekat
pendiangan atau lebih memilih duduk menyendiri di tengah kegelapan? ah
entahlah....namun yang terpenting Gie dan aku sama-sama pernah menginjak
gunung tempat para dewa bersemayang, Puncak Mahameru Semeru. Walaupun
dengan ending yang berbeda. Fuich....!
Gie adalah pendiri Mahasiswa Pecinta Alam. Dan saat di memimpin pendakian Gunung Slamet, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya,
“Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Gie dan aku sama-sama berpikir jika Chairul Anwar,
walaupun dia dikenal sebagai pengarang, sebenarnya dia adalah
penterjemah. Beberapa puisi yang terkenal adalah gubahan dari beberapa
puisi ber-bahasa Belanda. Tapi tetap percaya jika Chairul Anwar adalah
seorang seniman romantis. Jika Gie kuat berjam-jam duduk di depan mesin
ketik milik Ayahnya, aku juga suka berkutat bersama laptopku menulis
semuanya, tentang perubahan, tentang masa depan, bahkan tentang cinta.
Kami berdua juga sama-sama hobi membaca terutama buku-buku tentang
sejarah, biografi, sastra dan filsafat, atau sesekali buku tentang
politik. Dan yang paling penting adalah kami sama-sama suka menulis
puisi. Dan aku masih menyimpan puisi yang ditulis Gie saat itu.
Sebuah Tanya
“akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku”
(kabut tipis pun turun pelan-pelan di lembah kasih, lembah mendala wangi
kau dan aku tegak berdiri, melihat hutan-hutan yang menjadi suram
meresapi belaian angin yang menjadi dingin)
“apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat”
(lampu-lampu berkelipan di jakarta yang sepi, kota kita berdua, yang tua dan terlena dalam mimpinya. kau dan aku berbicara. tanpa kata, tanpa suara ketika malam yang basah menyelimuti jakarta kita)
“apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu. kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta?”
(haripun menjadi malam, kulihat semuanya menjadi muram. wajah2 yang tidak kita kenal berbicara dalam bahasa yang tidak kita mengerti. seperti kabut pagi itu)
“manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru”
Bukankah
Gie mahasiswa yang romantis. Banyak mahasiswa perempuan yang jauh cinta
padanya, namun aku tak pernah tahu siapa kekasihnya. Hanya saja aku
tahu dia mempunyai sahabat -yang aku kira Gie jatuh cinta pada
sahabatnya, hanya saja dia tidak mau mengakuinya atas nama
persahabatan-. Dan di luar dugaan, nama sahabat Gie adalah Ira. Nama
yang sama denganku. Bahkan aku selalu mengkhayal, apakah aku adalah Ira
sahabat dari seorang Gie? khayalan tingkat tinggi dari sebuah kekaguman
yang sangat beralasan.
Gie dan aku mungkin banyak kesamaan. Tapi dia jauh
lebih hebat dari semua mahasiswa yang aku kenal. Karena Gie....adalah
Soe Hok Gie. Inspirasi dari semua mahasiswa yang mengagungkan kata
perubahan!. Dii era demontrasi tahun 66, Gie sempat kecewa dengan sikap
temen-temen seangkatannya yang menkritik dan mengutuk para pejabat
pemerintah, kemudian selepas mereka lulus mereka berubah berpihak dan
lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Soe Hok Gie!! adalah aktivis Indonesia kelahiran 17
Desember 1942. Dia adalah anak ke empat dari lima bersaudara keluarga
Soe Lie Piet atau Salam Sutrawan. Gie adalah adik dari Arief Budiman
atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Satya Wacana yang terkenal sangat
vokal dan sekarang berdomisili di Australia. Nama Soe Hok Gie adalah
dialek Hokkian dari nama Su Fu-yi dalam Bahasa Mandarin. Leluhur Soe Hok
Gie sendiri berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.Tapi
jika ada yang mengatakan Soe Hok Gie adalah Cina aku akan menentang
secara keras. Gie bukan cina!!!! tapi Gie adalah orang Indonesia
keturunan Tionghoa.
Gie
tinggal di daerah Kebon Jeruk. Setelah menamatkan pendidikan SMA di
Kolese Kanisius, dia melanjytkan kuliah di Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (jika ada yang bertanya kenapa sejarah masuk dalam fakultas
sastra, jawabanya adalah karena sastra dan sejarah adalah bagian dari
Ilmu Humaniora). Gie adalah anak muda yang mempunyai pendirian teguh dan
rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian, yang
kelak kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Gie juga dikenal sebagai penulis produktif dibeberapa koran, antara
lain Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahsiswa Indonesia. Gie juga
sempat terdaftar sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia sebuah
koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 Bandung untuk
mengkritik pemerintahan Orde Lama. 35 karya artikelnya selama rentang
waktu 3 tahun Orde Baru sudah dibukukan dan diterbtkan dengan judul Zaman Peralihan (1995). Skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang juga telah diterbitkan dengan judul Di Bawah Lentera Merah (1990). Sebelumnya, skripsi S1 nya tentang pemberontakan PKI di Madiun juga sidah di bukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (1997). Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war
dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di
almamaternya. Dan jika kau menyadarinya, buku-buku pemikiran yang
ditulis Gie baru diterbitkan pada masa-masa peralihan antara Orde baru
dan reformasi. Ah...entahlah apa mungkin ada yang merasa tidak nyaman
dengan tulisan Gie? seperti dalam catatanya
Potonglah
kaki tangan seseorang lalu masukkan di tempat 2 x 3 meter dan berilah
kebebasan padanya. Inilah kemerdekaan pers di Indonesia.
Gie.....akhirnya
menjadi inspirasi bagi para sineas muda yang mengangkat kisahnya di
layar putih. Mira Lesmana dan Riri Reza benar-benar membutuhkan waktu 3
tahun untuk mengaplikasikannya dalam bnetuk visual. Dan aku semakin
jatuh cinta pada Gie!! bukan karena pemerannya Nicolas Saputra atau
karena sahabat sekaligus kekasihnya bernama Ira sama dengan namaku. Tapi
karena perjuanganya yang benar-benar tulus. Soe Hok Gie bertolak dari
sesuatu yang sekuler sifatnya, menuju titik membangun masyarakat baru
yang bermoral, terbuka dan manusiawi. Walaupun mungkin ada yang protes
dan merasa terganggu dengan cara Gie berjalan dalam film , dan sempat
mengatakan itu bukan cara jalan seorang pendaki gunung. Dan juga bukan
gaya jalan Nicolas Saputra. Tapi itulah Gie. Menurut sahabat-sahabatnya,
Gie memang mempunyai cara berrjalan yang unik dan berbeda!
Soe Hok Gie menyikapi cara
menghadapi rezim yang berkuasa sangat tegas sesuai dengan perjalanan
intelektualnya dan pengalaman pribadi dan politiknya, terbukti ketika
untuk pertama kalinya dia bertemu langsung dengan Soekarno (inpersona),
“kesanku hanya satu, aku tidak bisa percaya dia sebagai pemimpin Negara
karena dia begitu immoral”,. Dengan prinsif causa efficiens untuk
meruntuhkan kekuasaan Gie tidak pernah ragu-ragu untuk mengambil jalur
kekuasaan untuk mewujudkan keinginan anti kekuasan!. dia merumuskan
untuk memecahkan dilemanya tentang kekuasaan itu dengan benar-benar
melibatkan dirinya ke dalam suatu pergerakan bawah tanah yang sampai
sekarang tidak banyak di ketahui orang. Namun di hati kecilnya, Gie
adalah pengagum Sukarno sebagai seseorang yang membawa perubahan.
"Kita memang mempunyai ayah, tapi
tidak selamnya ayah menentukan, memutuskan dan memaksakan jalan hidup
dari anak-anaknya" kata Gie tentang Sukarno.
Sayangnya Gie tidak abadi. Dia meninggal dengan usia yang cukup muda. 27 tahun
Semeru 16 Desember 1969
Suasana sore hari bergerimis hujan dan kabut tebal, tanggal 16 Desember
1969 di Gunung Semeru. Seusai berdoa dan menyaksikan letupan Kawah
Jonggring Seloko di Puncak Mahameru (puncaknya Gunung Semeru) serta
semburan uap hitam yang mengembus membentuk tiang awan, beberapa anggota
tim terseok-seok gontai menuruni dataran terbuka penuh pasir bebatuan,
mereka menutup hidung, mencegah bau belerang yang makin menusuk hidung
dan paru-paru. Di depan kelihatan Gie sedang termenung dengan gaya
khasnya, duduk dengan lutut kaki terlipat ke dada dan tangan menopang
dagu, di tubir kecil sungai kering. Tides dan Wiwiek turun duluan.Dengan
tertawa kecil, Gie menitipkan batu dan daun cemara. Katanya, “Simpan
dan berikan kepada kepada ‘kawan-kawan’ batu berasal dari tanah
tertinggi di Jawa. Juga hadiahkan daun cemara dari puncak gunung
tertinggi di Jawa ini pada cewek-cewek FSUI.” Begitu kira-kira kata-kata
terakhirnya, sebelum turun ke perkemahan darurat dekat batas hutan
pinus atau situs recopodo (arca purbakala kecil sekitar 400-an meter di
bawah Puncak Mahameru).
Di perkemahan darurat yang cuma beratapkan dua lembar ponco (jas hujan
tentara), bersama Tides, Wiwiek dan Maman, mereka menunggu datangnya
Herman, Freddy, Gie, dan Idhan.
Hari
makin sore, hujan mulai tipis dan lamat-lamat kelihatan beberapa puncak
gunung lainnya. Namun secara berkala, letupan di Jonggringseloko tetap
terdengar jelas.
Menjelang senja, tiba-tiba batu kecil berguguran. Freddy muncul sambil
memerosotkan tubuhnya yang jangkung. “Gie dan Idhan kecelakaan!”
katanya. Tak jelas apakah waktu itu Freddy bilang soal terkena uap
racun, atau patah tulang. Mulai panik, mereka berjalan tertatih-tatih ke
arah puncak sambil meneriakkan nama Herman, Gie, dan Idhan
berkali-kali.
Beberapa saat kemudian, Herman datang sambil mengempaskan diri ke tenda
darurat. Dia melapor kepada Tides, kalau Gie dan Idhan sudah meninggal!
Kami semua bingung, tak tahu harus berbuat apa, kecuali berharap semoga
laporan Herman itu ngaco. Tides sebagai anggota tertua, segera mengatur
rencana penyelamatan.
Menjelang maghrib, Tides bersama Wiwiek segera turun gunung, menuju
perkemahan pusat di tepian (danau) Ranu Pane, setelah membekali diri
dengan dua bungkus mi kering, dua kerat coklat, sepotong kue kacang
hijau, dan satu wadah air minum. Tides meminta beberapa rekannya untuk
menjaga kesehatan Maman yang masih shock, karena tergelincir dan jatuh
berguling ke jurang kecil.
“Cek lagi keadaan Gie dan Idhan yang sebenarnya,” begitu ucap Tides
sambil pamit di sore hari yang mulai gelap. Selanjutnya, mereka berempat
tidur sekenanya, sambil menahan rembesan udara berhawa dingin, serta
tamparan angin yang nyaris membekukan sendi tulang.
Baru keesokan paginya, 17 Desember 1969, mereka yakin kalau Gie dan
Idhan sungguh sudah tiada, di tanah tertinggi di Pulau Jawa.Mereka
jumpai jasad keduanya sudah kaku. Semalam
suntuk mereka lelap berkasur pasir dan batu kecil Gunung Semeru.
Badannya yang dingin, sudah semalaman rebah berselimut kabut malam dan
halimun pagi. Mata Gie dan Idhan terkatup kencang serapat katupan bibir
birunya. Mereka semua diam dan sedih. Gie....meningal dalam pelukan
sahabatnya Herman Lantang.
Jenasah
Gie kemudian di semayamkan di rumah Lurah sebuah desa di kaki Gunung
Semeru. Menurut catatan adik Gie, Arif Budiman, Jenasah Gie dibungkus
oleh plastik dan kedua ujungnya diikat tali digantungkan pada kayu yang
panjang. Kulitnya kuning memucat dengan mata terpejam dan tampak tenang.
Jenasahnya di mandikan di Rumah Sakit Malang. Semuanya merasa
kehilangan, bahkan Sang Pembuat Peti Mati pun menangisi Gie yang hanya
dikenalnya lewat tulisan.
Jenasah
Gie di bawa ke Jakarta dengan pesawat Antonov milik AURI yang mendarat
di Malang dan sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa. Dan pesawat
itu diperintahkan langsung oleh Menteri Perhubungan yang saat itu di
pimpin oleh Frans Seda. Bahkan saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh
awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie dari
tulisannya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara
jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan
tanpa suara dari banyak orang. Mereka memang tidak berani membuka
mulutnya, karena kekuasaan membungkamkannya. Tapi kekuasaan tidak bisa
menghilangkan dukungan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun
kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata “Ya”
atau “Tidak”, meskipun Cuma di dalam hatinya.
Jenasah
Gie kemudian di makamkan di daerah Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember
1969, jenasahnya di pindahkan di Perkuburan Kober tanah Abang agar
dekat dengan kediaman ibunya. Namuan walaupun telah meinggal, Gie masih
tetap berkorban. Tempat peristirahatannya harus di gusur karena proyek
pembangunan prasasti. Keluarga dan kawan-kawannya kemudian memutuskan
menumuk sisa-sisa tulang belulang Gie dan serbuknya di tebar di antara
bunga-bunga Edelwiss di lembah Mandalawangi Puncak Pangrango. Di tempat
itu, Gie biasa merenung seperti patung.
Aku
sengaja memaksakan diri untuk menulis catatan ini,saat masih belum bisa
bersahabat dengan kesehatanku hanya karena kekagumanku pada Gie!!! Dan
sejak aku mengenal Gie aku selalu membaptiskan diri bahwa Bulan Desember
adalah bulan milik Gie!! dan aku kembali merefleksi diri. Mengulang
kembali cerita tentang Gie yang sudah aku hapal di luar kepalaku. Dan di
setiap bulan Desember aku merasa Gie merasa lahir kembali. Walaupun aku
sekarang bukan lagi seorang aktivis yang berteraik-teriak menyauarakn
keadilan menggunakan TOA di pinggirjalan atau berdiskusi berjam-jam
hingga dini hari untuk mencari jalan keluar bagi negaraku yang ku rasa
hampir hancur. Namun semangat Gie ini masih tetap ada. .....dan kelak
Kisah Gie ini akan mejadi dongeng pengantar tidur bagi anak-anaku. Agar
mereka dapat menghargai betapa sulitnya untuk menegakkan kata
KEADILAN!!!!
"orang-orang seperti kita tidak pantas mati di tempat tidur"
catatan ini aku persembahkan pada Gie dan Idhan Lubis serta bulan Desember yang penuh kisah
dan rekan-rekan aktivis yang pernah mengiringi langkahku untuk menyuarakan keadilan
Gie....kau tak pernah sendiri sumber : catatan dunia ira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar